UU Kemerdekaan Pers
Nama :anaziyatul magfiroh
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS
Menimbang :
- bahwa
kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud
kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting
untuk mencip takan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegaraa yang demokratis, sehingga
kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan
pendapat sebagaimana tercantum
dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945
harus dijamin;
- bahwa
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang emokratis, kemerdekaan
menyatakan pikiran dan pendapat sesuai
dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi,
merupakan hak asasi manusia yang sangat
hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan
kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan
kehidupan bangsa;
- bahwa
pers nasional sebagai wahana komunikasi massa,
penyebar informasi, dan pembentuk opini harus
dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban,
dan pera nannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan
kemerdekaan pers yang
profesional, sehingga harus mendapat
jaminan dan perlindungan hukum, serta
bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun;
- bahwa
pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial;
- bahwa
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah
diubah dengan Undang- undang Nomor 4 Tahun
1967 dan iubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun
1982 sudah tidak sesuai
dengan tuntutan perkembangan zaman;
- bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagai mana dimaksud dalam huruf a,
b,c,d dan e, perlu dibentuk Undang-undang
tentang pers.
Pers bersifat bebas semenjak reformasi
hingga sekarang. Tetapi pers pada masa sekarang terlalu bebas, terutama pada
media televisi. Pers menayangkan berita demi kepentingan bisnis dan politik.
Apabila acara yang dibuat sukses, maka rating pada acaratersebut akan naik. Hal
tersebut tentunya berdampak pada banyaknya iklan yang masuk. Banyaknya iklan
yang masuk menghasilkan pendapatan bagi perusahaan pers tersebut.
Demi menaikkan popularitas serta
gengsi, pers sampai membohongi publik. Apabila dihubungkan dengan Kode Etik
Jurnalistik, ini merupakan suatu pelanggaran. Menurut Kode Etik Jurnalistik
(Dewan Pers) dalam salah satu pasalnya disebutkan bahwa wartawan Indonesia
tidak membuat berita bohong. Adanya pemberitaan bohong yang dilakukan oleh TV
One tersebut sudah jelas bahwa TV One melakukan suatu pelanggaran. Hal tersebut
sangat merugikan masyarakat sebagai audien. Padahal, fungsi dari pers sendiri
adalah sebagai informasi, hiburan (yang sehat), pendidikan, ekonomi,
kebudayaan, serta kontrol dan perekat sosial (Pasal 4 UU Penyiaran No. 32/
2002). Apabila berita yang disajikan tidak bermutu atau bohong, sudah jelas
bahwa pers tidak menjalankan tugas sebagaimana fungsinya.
Selanjutnya, televisi sering
menayangkan debat pendapat antara dua kubu yang bertikai. Tidak jarang debat
tersebut menjadi panas dan berubah menjadi pertengkaran fisik. Parahnya,
masyarakat banyak yang menyukai hal-hal semacam ini. Bila ini yang terjadi,
rating televisi naik, dan uang mengalir deras keperusahaan pers. Dan yang
untung bukan masyarakat, melainkan perusahaan pers itu sendiri. Sekali lagi,
pers pada masa sekarang hanya merupakan alat untuk mencari keuntungan.
Sekarang, pers (media) sangat
penting perannya dalam menyampaikan informasi. Tanpa media, kita tidak bisa
dengan mudah mendapatkan informasi yang kita inginkan. Tetapi pers (media)
sekarang hanya terpusat pada segelintir pihak. Misalnya, Viva Group milik
Aburizal Bakrie, Media Group milik Surya Paloh, MNC Group milik Hary
Tanoesoedibjo, Trans Corp milik Chairul Tanjung, dan lain sebagainya.
Kekuasaan orang-orang yang menjadi
pemilik beberapa media besar ini sudah jelas dapat mempengaruhi perusahaan yang
mereka pimpin. Sebagai contoh adalah berita menganai semburan lumpur yang
berada di Sidoarjo. Viva Group milik Aburizal Bakrie tidak ingin menjadi yang
terdepan mengabarkan berita tentang semburan lumpur di Sidoarjo. Sebab kasus
tersebut berhubungan dengan Aburizal Bakrie sebagai pemilik Viva Group.
Meski pers telah bebas dari campur
tangan pemerintah, pelaku pers tidak bisa bebas dari pemilik perusahaan pers.
Pelaku pers tidak bisa leluasa memberitakan bos mereka meskipun bos mereka
terseret masalah. Padahal, pers Indonesia harus bersikap independen (Pasal 1
Kode Etik Jurnalistik versi Dewan Pers) tanpa ada campur tangan, paksaan, dan
intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Dan tentunya
kebebasan pers dibatasi dengan kode etik dan peraturan yang berlaku.
Pers Indonesia sekarang hanya
dikuasai segelintir orang yang bermodal banyak. Pers Indonesia menganut paham
liberal. Beritanya tidak lagi demi kepentingan masyarakat, tetapi demi
kepentingan perusahaan itu sendiri untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya.
Uang menjadi nomor satu. Urusan apakah berita tersebut berdampak buruk apa
tidak urusan belakangan. Ditambah lagi dengan pemilik modal yang bergabung
dengan partai politik. Sehingga seolah-olah pers (media) hanya sebagai alat
kepentingan pemilik modal untuk terjun ke dunia politik. Pers (media) digunakan
oleh pemilik modal tersebut untuk berkampanye. Sudah jelas bahwa di sini yang
diuntungkan adalah partai politik yang memiliki media. Pemilu Presiden 2014
semakin dekat, sehingga pemilik modal yang bergabung dengan partai politik
berlomba-lomba untuk memenangkan pemilu lewat medianya sendiri. Seakan-akan
Pemilu Presiden 2014 hanya dikuasai oleh partai politik yang memiliki media.
Hal tersebut sangat merugikan partai politik lain yang tidak memiliki media.
Pers harus berpegang teguh kepada
peraturan, undang-undang, ataupun kode etik jurnalistik yang sudah ada.
Pemerintah juga harus turut andil dalam menata industri pers yang hanya
dikuasai segelintir orang saja. Pemerintah harus mengeluarkan peraturan tentang
kepemilikan perusahaan pers. Apabila pers kita masih tetap seperti sekarang
(liberal), maka masyarakat tidak akan mendapatkan keuntungan sepenuhnya dari
pers. Karena pers hanya mementungkan keuntungan perusahaan pers itu sendiri.
Padahal, pers tidak berfungsi untuk mencari keuntungan semata.
Pers tidak hanya menyampaikan
informasi, tetapi juga harus menjadi kontrol sosial masyarakat agar kondisi
masyarakat tetap terkendali. Misalnya adalah kasus yang menimpa Gayus Tambunan
(pegawai pajak yang terlibat makelar kasus). Karena pegawai pajak tidak bekerja
sebagaimana mestinya, sempat muncul gerakan tidak membayar pajak. Setelah
memberitakan kasus pajak tersebut, pers juga mensosialisasikan iklan untuk
membayar pajak tepat waktu. Itu adalah salah satu contoh bahwa perss masih bisa
menjadi kontrol sosial. Meskipun lebih banyak mengutamakan kepentingan bisnis
dan politik saja.
Aturan mengenai pers di
Indonesia diatur oleh Undang-undang No.40 tahun 1999 tentang pers. Segala
bentuk aktivitas jurnalisme, baik yang menggunakan media cetak, media
penyiaran, dan media baru dilindungi dan dijamin oleh Undang-undang Pers. Pada
perkembangannya, praktik jurnalistik pada media online tidak sesederhana
formulasi pada undang-undang Pers. Ruang lingkup media baru yang menghadirkan
sedemikian banyak kebaruan menghadirkan persoalan dilematis karena karakter
media yang berbeda. Karakter media yang berbeda membuat aktivitas jurnalistik
pada media baru juga mengalami pergeseran dan dinamika yang luar biasa. Hal ini
pula yang kemudian menghadirkan persoalan dilematis di wilayah normatif dan
etis. Berangkat dari asumsi tersebut, penelitian ini bermaksud ingin melihat
bagaimana posisi Undang-undang Pers dalam ekosistem media baru. Penelitian ini
berusaha menjawab posisi tersebut dalam dua aras. Pertama, penelitian ini
hendak mengelaborasi bagaimana posisi Undang-undang Pers dalam konteks hukum
media di Indonesia, baik dalam perspektif lex spesialis maupun perspektif lex
generalis. Kedua, posisi Undang-undang Pers dalam penelitian ini dilihat dalam
konteks empirik pada berbagai kasus jurnalisme media online di Indonesia.
Konteks empirik ini lebih melihat pada bagaimana fakta yang terjadi di wilayah
hukum dalam menanggapi berbagai persoalan terkait pers di media online. Kata
kunci : jurnalisme, media baru, undang-undang pers, posisi normal.
Undang-undang
ini tidak hanya mengatur aktivitas pers dalam mengumpulkan dan melaporkan
informasi tetapi juga menjamin kebebasan pers di semua media platform
Indonesia. Namun, praktik jurnalisme online tidak sesederhana hukum. Ekosistem
media baru menantang praktik jurnalisme, etika, dan regulasi ke tingkat yang
baru. Karakter media baru mengubah jurnalisme dalam banyak aspek, seperti
komentar, akurasi, dan manajemen media. Perubahan ini membawa perspektif baru
untuk membahas tentang regulasi untuk jurnalisme online. Penelitian ini ingin
menjawab, bagaimana Hukum Pers Indonesia mengambil posisi di ekosistem media
baru. Pertama, kita dapat mendiskusikan posisi ini dengan UU Pers Indonesia
yang terperinci dalam spesialis lex atau dalam kondisi umum. Kedua, kita dapat
membandingkan kasus jurnalisme online Indonesia yang menggunakan UU Pers
Indonesia untuk keadilan.
Berdasarkan Undang Undang tentang
Pers No. 40 Tahun 1999, Pengertian Pers adalah lembaga sosial dan wahana
komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari,
memiliki, memperoleh, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik
dalam bentuk tulisan, gambar, suara, gambar dan suara, serta data dan grafik
maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media elektronik, media cetak
dan segala jenis saluran yang tersedia.
Undang undang sebelumnya tertulis
bahwa pengertian pers adalah lembaga kemasyarakatan sebagai alat revolusi yang
mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum
berupa penerbitan yang teratur waktu terbitnya, diperlengkapi atau tidak
diperlengkapi dengan alat-alat milik sendiri berupa percetakan alat-alat foto,
klise, mesin-mesin stensil, atau alat-alat teknik lainnya (UU No. 11 Tahun
1966).
Menurut UU No. 40/1999 tentang Pers,
kode etik jurnalistik adalah himpunan etika profesi wartawan. Dalam buku Kamus
Jurnalistik (Simbiosa Bandung 2009) Kode Etik Jurnalistik (KEJ) atau Kannos of
Journalism sebagai pedoman wartawan dalam melaksanakan tugasnya sebagai
landasan moral atau etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam
menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan.
Untuk wartawan Indonesia, kode etik
jurnalistik pertama kali dikeluarkan dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) sebagai organisasi tunggal wartawan seluruh Indonesia pasa masa
Orde Baru.
Konten
Kode Etik Jurnalistik
Surat Keputusan Dewan Pers No.03/SK-DP/III/2006, tanggal 24 Maret 2006 tentang Kode
Etik Jurnalistik :
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Pasal 7
memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Pasal 9
ia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
ia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Etika berasal dari bahasa Latin, ethica,
yang berarti aturan atau kaidah-kaidah moral, tata susila yang mengikat suatu
masyarakat atau kelompok masyarakat, atau profesi. Sedangkan Pers adalah
lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
meyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan
gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia. (menurut UU pers no 40 tahun 1999).
Secara etimologis, kata Pers (Belanda), atau Press (inggris), atau presse
(prancis), berasal dari bahasa latin, perssare dari kata premere, yang berarti
“Tekan” atau “Cetak”, definisi terminologisnya adalah “media massa cetak” atau
“media cetak”
Etika Pers yaitu suatu aturan atau
kaidah-kaidah yang mengatur suatu media dalam mempublikasikan suatu sajian
program, berita atau informasi. Dalam buku Alviano Andrianto, Etika Pers
diartikan sebagai bidang mengenai kewajiban-kewajiban pers dan tentang pers
yang baik dan pers yang buruk, pers yang benar dan pers yang salah, pers yang tepat dan pers yang tidak tepat, Sumber etika pers adalah kesadaran
moral yaitu pengetahuan tentang baik dan buruk, benar dan salah, tepat dan
tidak tepat, bagi orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pers.
Unsur-unsur dalam etika Pers yakni
sebagai berikut :
- Tanggung
Jawab (Seorang jurnalis yang terlibat dalam pers harus
memunyai tanggung jawab atas dampak dari informasi yang disampaikan).
- Kebebasan
Pers (Semua orang, termasuk jurnalis boleh dengan bebas
menyampaikan informasi yang bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
tanpa pengekangan)
- Masalah
Etis (Pers lepas dari kepentingan individu dan mengabdi
kepada kepentingan umum).
- Ketepatan
(Pers
memiliki orientasi terhadap kebenaran untuk melayani publik)
- Tindakan
Adil untuk Semua Orang (Pers melawan keistimewaan atau campur tangan
pihak-pihak yang mengakibatkan ketidakbebasan media dalam menyiarkan
informasi).
Comments
Post a Comment