Pasal 4 kebebasan PERS
di posting oleh : Sita Maylani (51703050028)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 1999
TENTANG PERS
Pasal 4
Kebebasan
Pers dengan Sistem Pancasila
17
Februari 2016 19:10
Pers di Indonesia dimulai
dengan dibentuknya kantor berita ANTARA yang didirikan pada tanggal 13 Desember
1937 sebagai kantor berita perjuangan dalam rangka perjuangan merebut
kemerdekaan Indonesia, yang mencapai puncaknya dengan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.Reformasi yang lahir dari tuntuntan rakyat
yang telah bosan ditekan dan dikekang oleh rezim orde baru. Reformasi membawa
angin segar perubahan di segala lini kehidupan masyarakat dan Negara termasuk
juga pers. Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati
kebebasan pers.Kebebasan pers adalah hak yang diberikan secara konstitusional
untuk dapat menyebarluaskan maupun melakukan penerbitan surat kabar atau
majalah tanpa adanya campur tangan ataupun penyensoran oleh pemerintah.
Pada awal reformasi
banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, dan majalah.Di Era reformasi
,pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4
didalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi
warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan
penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk
menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam
mempertanggung jawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak
Tolak. Setiap
orang dibebaskan untuk dapat mencari informasi, berpendapat, atau mengkritik
namun harus berdasarkan nilai-nilai yang terkandung didalam pancasila. Dengan
adanya kebebasan pers, komentar/kritikan dari masyarakat dapat disalurkan
melalui pers yang selanjutnya dapat menjadi masukan bagi negara ini.Rakyat pun
akan menjadi lebih open minded, cerdas, kritis, maupun terbuka terhadap masalah
masalah yang sebenarnya terjadi dan pemerintahan pun menjadi lebih transparant.
Sistem pers di Indonesia didasarkan pada ideologi bangsa indonesia sendiri
yaitu pancasila. Penyebarluasan berita harus berdasarkan dengan nilai-nilai
yang terkandung di dalam pancasila. Meskipun pers memiliki kebebasan dalam
mencari ataupun membuat berita, tetapi pers juga harus berhati hati dalam
membuat sebuah berita.Berita yang disampaikan jangan sampai mengandung unsur
SARA ,pencemaran nama baik seseorang, instansi atau kelompok tertentu dan
akhirnya dapat merugikan pihak tertentu.
Dari beberapa tahun
silam, banyak kasus pelanggaran yang dilakukan oleh pers. Contoh konkritnya
seperti berita bom di hotel JW Marriott, Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam
berita ini, media melanggar kode etiknya dengan mengekspos foto-foto korban
hasil ledakan bom tanpa sensor. Narasi reporter di lapangan juga terbawa emosi,
sehingga mengatakan kalimat yang kurang etis. Media mungkin lupa bahwa tidak
hanya remaja dan orang dewasa yang melihatnya, tetapi anak-anak di bawah umur
juga. Bukankah
menimbulkan rasa ngeri dan trauma yang berkelanjutan? Apa yang dilakukan media
disini, melanggar kode etik jurnalistik yang diatur dalam UU No. 40 tahun 1999
pasal 4 ayat (2). Bunyi pasalnya adalah “Terhadap pers nasional tidak dikenakan
penyensoran, pembredelan atau pelanggaran penyiaran”. Pasal ini benar adanya
bagi hak pers, tetapi dilanjutkan dengan penjelasan “tidak berlaku bagi media
cetak dan media elektronik”. Jadi, penyiaran dalam media cetak dan media
elektronik tetap diharuskan adanya penyensoran karena akan disaksikan oleh
massa.
Dalam kasus pemboman
Sarinah kemarin, tidak ada kejadian terulang yang dilakukan oleh pihak pers.
Tetapi malah publik di lokasi kejadian yang menyebarkan foto-foto kurang etis.
Meski sempat kurang terkontrol, para kawan wartawan telah berusaha mengingatkan
dan menginformasikan melalui media sosial, bahwa tindakan tersebut melanggar
kode etik dan tidak etis untuk disaksikan oleh massa. Sehingga penyebaran
foto-foto korban ledakan berkurang penyebarannya atau dihapus. Dari contoh kasus
pemboman JW Marriott dan Sarinah,dapat dilihat bahwa ada perkembangan postitif
yang dialami oleh pers,yaitu pers tidak lagi melakukan pelanggaran yang sama
dengan menyebarluaskan foto korban pengeboman tanpa sensor, bahkan pers
menghimbau masyarakat untuk tidak melakukan pelanggaran kode etik pers dengan
tidak menyebarluaskan foto korban pengeboman yang tidak disensor. Perkembangan positif seperti ini harus
diteruskan bahkan ditingkatkan,agar pers di Indonesia dapat lebih baik lagi
menjadi jendela informasi bagi masyarakat.Pers diharapkan ikut serta dalam
membantu mencerdaskan bangsa dengan penyajian berita yang berkualitas
Comments
Post a Comment